POLIGAMI TAK DIKEHENDAKI: Pantulan Kritis atas Film Ayat-ayat Cinta 2

Oleh: Nurul Bahrul Ulum


Yank, nonton film Ayat-ayat Cinta 2 yuk!” ajakku ke suami beberapa hari sebelum nonton.

Gak mau ah! itu kan film poligami !” jawab suamiku dengan malas. Sebenarnya suamiku belum pernah baca sinopsis film yang disutradarai Guntur Soehardjanto itu. Hanya bermodalkan sisa ingatan film Ayat-ayat Cinta (AAC) yang rilis 9 tahun lalu, suamiku menyimpulkan “film poligami.”

 

Bagi pegiat isu gender, AAC dipandang sebagai film yang melanggengkan inferioritas perempuan dengan emosionalitas yang sangat kuat. Karena itulah, saya mengajak teman-teman Cherbon Feminist, ruang belajar bersama para feminis muda, untuk menonton film AAC2. Tidak ada tujuan lain, kecuali untuk mengasah sensitivitas gender para pegiat keadilan dan kesetaraan ini. Tak ketinggalan suami dan anak-anakpun nimbrung menjadi jama’ah XXI CSB Mall Cirebon untuk mengintip drama cinta “Fahri” rekaan Habiburrahman El-Shirazy.

Membaca sinopsisnya, awalnya saya merasa akan memperoleh perspektif keadilan gender dalam cerita cinta berliku yang diimajinasikan, meski keraguan saya lebih kuat karena film AAC pertama.

Adegan dimana seorang mahasiswa bertanya kepada Prof. Fahri (Dosen Filologi di Universitas Edinbrugh Skotlandia) terkait Islam yang mensubbordinasi perempuan, apresiasi saya mulai goyah. Sebelum Fahri menjawab, Hulya yang tiada lain sepupu Aisha (istri Fahri) menepis pertanyaan tersebut. Hulya dengan renyah memberikan penjelasan sekaligus pemahaman terkait Islamic phobia bahwa dalam ajaran Islam perempuan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan potensi dirinya. Hulya menyebut beberapa perempuan muslim yang sukses dalam bidang ekonomi dan pendidikan untuk memperkuat bahwa Islam tidak memosisikan perempuan sebagai gender kedua setelah laki-laki. Fahri sontak saja melongo pertanda setuju, kaget, sekaligus kagum dengan argumentasi yang dipaparkan Hulya. Pada adegan ini saya mengagumi Hulya.

Saya semakin optimis lagi ketika nilai-nilai pluralisme disajikan dalam adegan demi adegan yang mendebarkan terkait Yahudi, Israel, Kristen, dan Palestina. Fahri melalui ucapan dan tindakannya menunjukkan karakter Islam yang lembut, damai, penuh kasih, toleran, dan rahmatan lil ‘aalamiin. Tak heran, sekalipun Fahri lelaki beristri, banyak sekali perempuan tergoda mencuri cintanya. Tak terkecuali saya sebagai penonton begitu terkesima dan baper melihat sosok Fahri. Tapi, karena saya perempuan bersuami, secepat kilat saya insyaf. Hahahaa J

Menurut saya, penempatan sosok lelaki sempurna seperti Fahri dimana banyak perempuan ingin memilikinya, tak lain adalah konstruksi patriarkhisme. Laki-laki ditempatkan menjadi manusia yang rasional, pintar, cerdas, hebat, bijaksana, dan dapat memilih dari sekian banyak perempuan yang mencintainya. Sebaliknya, perempuan sehebat apapun pada akhirnya justru dikondisikan menjadi penghamba cinta. Dalam setiap film layar lebar yang sejenis dengan AAC2 nyaris tak pernah memosisikan perempuan setara dengan laki-laki, apalagi lebih hebat darinya. Selalu saja di bawahnya dan dalam kendalinya.

Saya mengagumi ketiga sosok perempuan dalam film ini, yakni Hulya, Keira, dan Aisha. Masing-masing dari mereka memiliki keunggulan dan keistimewaan yang patut dibanggakan bagi seorang perempuan. Sayangnya, kehebatan para perempuan ini dikonstruksi menjadi inferior, emosional, nrimo, dan menghamba cinta pada lelaki yang sama. Di sini, saya mulai pesimis lagi sekaligus kecewa.

Hulya diceritakan sebagai seorang mahasiswi yang ingin mengejar pendidikan post graduate. Selain pintar, elegan, cerdas, baik hati, punya keingintahuan yang besar, dia juga sangat loveable. Tetapi mengapa Hulya mencintai Fahri yang tak lain suami dari Aisha, sepupunya yang hilang di Palestina? Mungkinkah kehabisan stok laki-laki sejenis Fahri? Semudah itukah Hulya melabuhkan hatinya pada Fahri tanpa mempertimbangkan Aisha yang tidak jelas keberadaannya? Haruskah Hulya menunda program post graduatenya untuk menerima proposal lamaran Fahri? Bagaimana bisa karakter Hulya yang sejak awal dibangun memiliki kecerdasan yang menyaingi Fahri kemudian terjebak dengan begitu mudah pada ruang emosional? Perempuan seperti Hulya dalam dunia nyata, saya rasa, tak akan semudah itu mengolah perasaan dan mengambil keputusan untuk mencintai suami orang yang masih belum jelas keberadaannya.

Keira, gadis remaja pecinta biola yang bermimpi besar menjadi seorang violinist handal. Walaupun cuek, dia merupakan pribadi yang kuat, berani, serta mandiri. Cita-citanya menjadi violinist kandas ketika ayahnya terbunuh dalam serangan teroris di London. Karena itulah Keira menyimpan kebencian mendalam terhadap Fahri, seorang muslim yang tinggal tepat di depan rumahnya. Seiring berjalannya waktu, ada seseorang yang diam-diam mendatangkan guru les biola nomor satu untuk Keira. Setelah Keira sukses menggapai mimpinya, belakangan mengetahui bahwa malaikat penolongnya adalah Fahri yang selama ini dia benci. Tetapi, haruskah Keira kehabisan cara membalas kebaikan selain meminta Fahri untuk menikahinya? Bahkan di depan Hulya, istri baru Fahri yang tengah hamil, Keira melepas cintanya untuk Fahri. Gadis kuat, cuek, mandiri, dan berani seperti Keira tak akan memiliki pemikiran sependek itu. Dalam kehidupan nyata, dia akan terus berusaha mengembangkan potensinya sehingga tidak menyia-nyiakan sang malaikat penolong yang sudah membiayai les biolanya.

Aisha, adalah istri Fahri. Dia memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, toleran, dan baik pada semua orang. Untuk mengobati kegalauannya yang tak kunjung memiliki anak, Aisha berangkat ke Palestina menjadi relawan sekaligus membuat cerita dan reportase tentang kehidupan di sana. Tetapi dalam perjalanannya, Aisha menghilang. Sedangkan teman perempuannya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dengan kondisi tubuh yang sangat mengenaskan.

Nyawa Aisha terselamatkan. Sayangnya, dia menjadi perempuan tawanan tentara Israel untuk diperkosa dan diperbudak seperti perempuan lainnya. Menghindari pemerkosaan, Aisha menusuk diri alat kelaminnya dengan besi dan menggesek-gesekkan sebagian wajahnya ke tembok yang sangat kasar. Aisha dengan sengaja merusak tubuhnya demi kesucian seksualitasnya. Menurutnya, rusaknya tubuh lebih baik dari pada kehormatannya direnggut tentara Israel. Adegan ini kemudian mengkonstruksi masyarakat kita bahwa kehormatan perempuan hanya terletak pada “kelamin dan kecantikan” belaka. Bagaimana dengan perempuan-perempuan korban kekerasan seksual? Seolah-olah mengindikasikan bahwa mereka tidak terhormat. Padahal mereka hanyalah korban yang dipaksa dalam keadaan tak berdaya. Dengan kedaulatan tubuh selain “kelamin” dan potensi dirinya, seharusnya perempuan tetap dihormati dan dihargai kemanusiaanya.

Lebih dari dua tahun Fahri berduka dan tenggelam dalam usaha pencarian istri yang sangat dicintainya, Aisha. Kepindahannya ke Edinburghpun dikarenakan Aisha sangat mencintai kota yang terletak di dataran Inggris tersebut. Fahri berusaha menyingkirkan rasa sedihnya dengan menyibukan diri sebagai intelektual, peneliti, pengusaha, sekaligus memperbaiki citra Islam dan muslim di negeri dunia pertama itu.

Banyaknya perempuan yang tertarik padanya, Fahri tak berpaling sedikitpun dari Aisha yang tak kunjung ditemukan. Aisha muncul menjelma sebagai Sabina. Perempuan yang selalu memakai cadar dan berpakaian lebar dianggap pengemis oleh aparat kepolisian. Fahri berniat menolongnya. Sabina menjadi pekerja rumah tangga di rumah Fahri. Fahri di rumahnya tinggal bersama kedua sopir pribadi sekaligus pembantu, Hulusi dan Misbah. Keberadaan Sabina di rumah Fahri menjadi alasan bagi Hulya untuk berkunjung secara intens ke rumah Fahri.

Seiring dengan berjalannya waktu, ayah Hulya meminta Fahri untuk menikahi anak kesayangannya. Pada awalnya, Fahri menolak karena dia masih berharap Aisha datang. Begitupula dengan Hulya, dia masih ingin melanjutkan postgraduate-nya. Saat pembicaraan tersebut berlangsung, Sabina (jelmaan Aisha) mengintip dari balik jendela. Dia merasa terpukul karena Fahri (suaminya) dijodohkan dengan Hulya (sepupunya). Anehnya, kenyataan pahit initidak mendorong dirinya untuk mengakui bahwa dirinya adalah Aisha, istri Fahri yang ditunggu kehadirannya. Aisha merasa malu pada Fahri karena wajah yang cacat sebelah dan organ reproduksi yang rusak, sehingga menyamar sebagai Sabina untuk memastikan kelangsungan hidup Fahri agar bahagia.

Di tengah kegundahannya, Fahri tergerak melaksanakan shalat istikharah, lalu berdiskusi dengan temannya. Dalam diskusinya, Fahri memutuskan untuk mengikhlaskan Aisha dan melamar Hulya. Begitupula Hulya, alih-alih memikirkan pendidikannya, dia malah menerima lamaran Fahri disertai tetesan air mata terharu bahagia. Pernikahan Fahri dan Hulya berlangsung. Tak ketinggalan, Sabina ikut serta menyaksikan pernikahan ‘majikan’nya yang tak lain adalah suaminya. Dia meneteskan air mata, kemudian berlari ke rumahnya karena hatinya tercabik-cabik. Adegan ini sungguh mengaduk-ngaduk perasaan penonton. Air mata saya bocor deras. Saya marah. Ingin rasanya melempar layar screen bioskop. Mengapa hal ini terjadi pada perempuan?

Sekalipun Fahri adalah sosok yang sempurna, tapi saya sungguh kecewa padanya. Bukankah Fahri sangat setia terhadap istrinya? Bagaimana bisa dia tidak mengenali suara Sabina? Bagaimana bisa dia tidak merasakan masakan yang setiap hari dimasak Sabina menyerupai masakan Aisha? Padahal Sabina dan Aisha adalah orang yang sama. Setidaknya ikatan suami istri ada feeling yang sangat kuat. Mengapa hanya dengan sekali shalat dan berdiskusi dengan temannya bisa mengambil keputusan dengan cepat untuk menikahi Hulya? Sebaliknya, sosok Aisha di depan matanya malah tak dikenali.

Aisha adalah korban konstruksi sosial budaya atas standar kesalehan perempuan muslimah. Pertama, stereotype muslimah yang kaffah adalah ketika dirinya berpakaian sangat lebar dan memakai cadar, seperti yang sedang nge-trend di kalangan muslim konservatif saat ini. Terbukti, ketika Fahri menikahi Hulya, dia meminta Hulya untuk mengenakan jilbab secara perlahan. Apakah kesalehan hanya diukur dengan pakaian? Bukankah Hulya selama ini telah menunjukkan kesalehannya sebagai perempuan?

Ini merupakan implikasi lain dari paradigma stereotip “perempuan sebagai fitnah” yang kemudian mengharuskan perempuan menutup seluruh tubuhnya. Padahal perihal aurat dan jilbab ini bermula dari ragam tafsir terhadap al-Qur’an surat An-Nur ayat 30-31 yang kemudian merefleksikan pada ragam pandangan pula dari para fuqaha. Di samping karena perbedaan tafsir atas kosa kata tersebut, keragaman pandangan fiqh juga karena konteks sosial masyarakat yang berbeda. Terlepas dari perdebatan batasan-batasan aurat, yang menjadi perhatian utama dalam Islam adalah bahwa tubuh perempuan harus dihormati dan dilindungi, tidak boleh dilecehkan dan direndahkan, apalagi dieksploitasi dan menjadi objek kekerasan.

Kedua, kepergian Aisha ke Palestina adalah pelarian atas kegalauannya yang tak kunjung memiliki anak. Mengapa kemudian perempuan yang memiliki alat reproduksi (rahim) menjadi pihak yang paling terbebani sepanjang hidupnya ketika sebuah pasangan belum dikaruniai seorang anak. Padahal ketika sebuah keluarga berkomitmen untuk saling mencintai dan membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia seharusnya ketiadaan anak tidak menjadi alasan untuk galau berkepanjangan. Apalagi melihat sosok kedua pasangan yang digambarkan shaleh dan shalehah seharusnya bisa merawat sakinah, mawadah, dan rahmah dalam situasi dan kondisi apapun.

Ketiga, konstruksi sosial menganggap bahwa perempuan sebagai objek seksual laki-laki. Akibatnya, ketika tubuh dan seksualitas perempuan cacat tak berdaya, sudah tentu laki-laki tidak bisa menikmatinya lagi. Konstruksi lain ketika perempuan mempercantik diri bukan untuk kesenangan dan kenyaman dirinya sendiri, tetapi untuk dinikmati oleh laki-laki. Perempuan sudah tidak memiliki kedaulatan atas tubuhnya. Itulah mengapa Sabina tidak punya nyali untuk mengakui bahwa dirinya adalah Aisha kepada Fahri. Berkali-kali dia mengatakan “aku sudah tak seperti dulu lagi”, “bukan Aisha yang dulu.” Seolah dia sudah tidak pantas mendampingi Fahri, karena wajah dan alat kemaluannya yang sudah rusak. Padahal keluarga yang bahagia adalah mereka yang saling menerima satu sama lain. Disitulah semestinya Aisha bisa menguji sejauhmana kekuatan dan kesetiaan cinta Fahri kepadanya, bukan membiarkan Fahri menikahi perempuan lain. Tidak bisa dong kebahagiaan suami dibangun di atas penderitaan istri. Atau, istri membahagiakan suami dengan cara menyakiti dirinya.

Keempat, kuatnya dogma agama yang menganggap perempuan ikhlas dipoligami akan meraih surga. Banyak kasus poligami dimana ketika istri pertama memiliki kekurangan, sang suami menikahi perempuan lain untuk menemukan kelebihan yang tidak ada pada istri pertama (salah siapa istri punya kekurangan?). Atas dalih ini, ikhlas adalah rasa yang seolah harus melekat pada istri pertama yang mana surga akan menjadi imbalannya. Bahkan banyak perempuan mau dipoligami karena alasan jihad. Tentu ini pemahaman yang keliru tentang Islam. Karena ajaran Islam justru menganjurkan untuk monogami (beristri satu).

Poligami adalah warisan jahiliyah. Islam merespons poligami dengan menawarkan ajaran keadilan. Tidak boleh poligami, kecuali mampu berlaku adil. Jika tidak bisa adil, maka monogami. Nabi SAW telah meneladankan hidup monogami, setia satu orang istri selama 28 tahun, hingga Sayyidatina Khadijah wafat. Nabi SAW berpoligami justru di masa akhir hayatnya sekitar 8 tahun, pada saat hasrat seksualnya menurun. Poligami Nabi SAW sesungguhnya anti-tesis atas praktik poligami saat itu yang memuja seksualitas. Ini didemostrasikan Nabi SAW dengan menikahi janda-janda, kecuali Sayyidatina Aisyah.

Sekalipun konteks film ini bukan secara terang-terangan menyajikan soal poligami, tetapi keteguhan Aisha untuk ikhlas membiarkan suaminya menikahi perempuan lain adalah implikasi dari konstruksi dogma agama atas standar kesalehan seorang perempuan (dalam soal poligami). Aisha mengorbankan perasaannya demi membahagiakan suaminya, terlebih bersamanya tak pernah bisa memiliki anak. Dengan karakteristik Fahri yang nyaris sempurna, jika Sabina mengakui bahwa dirinya adalah Aisha mungkin saja Fahri tak akan menikahi Hulya. Keteguhan Aisha hanyalah keikhlasan semu. Bagaimanapun relanya tetap saja dia merasa terpukul dan sakit hati menyaksikan keromantisan Fahri dan Hulya yang serumah dengannya.

Tibalah pada suasana yang begitu dramatis, dimana Bahadur datang saat Sabina mengantar Hulya yang sedang hamil tua ke toilet. Saat percobaan pembunuhan dilakukan Bahadur, Sabina dan Hulya saling menolong dan menjaga satu sama lain. Ketika pertikaian berlangsung, cadar Sabina tiba-tiba terlepas dan Hulya kaget karena menyadari bahwa Sabina adalah Aisha. Kemudian Fahri datang menyelamatkan keduanya dan Bahadur ditembak polisi. Hulya terkena tusukan pisau Bahadur yang mengantarkannya wafat setelah dilarikan ke rumah sakit. Tangan Sabina dan Fahri begitu erat menggenggam tangan Hulya. Setelah beberapa saat dirawat dan dilakukan operasi caesar, Hulya meninggal dunia dan sang bayi terselamatkan. Sebelum Hulya meninggal, dia berpesan kepada Aisha untuk menjaga bayinya dan Fahri. Aisha melakukan transplantasi wajah atas rekomendasi Hulya pada dokter bedah ternama. Karena Hulya ingin bayinya mengenal dirinya, maka Aisha melakukan transplantasi dengan wajah Hulya.

Satu tubuh dua perempuan. Perpaduan Aisha dan Hulya adalah ayat-ayat cinta Fahri yang sempurna. Film ini begitu lembut dan hati-hati mengemas keadilan dalam relasi keluarga. Diawali dengan pembangunan perspektif keadilan gender, nyaris tak terlihat ada unsur poligami. Yang ada justru semua mengagumi sosok Fahri, Hulya, dan Aisha. Sekumpulan orang-orang shaleh dan shalehah yang sedang dirindukan surga.

Begitupun saya. Mengagumi Fahri, Hulya, Aisha, juga Keira. Tetapi yang membuat saya kecewa adalah film ini mengkonstruksi masyarakat dengan diperkuat oleh unsur-unsur yang dianggap ‘islami’ kemudian menempatkan para perempuan hebat dalam film tersebut pada posisi yang inferior, emosional, nrimo, menanggung beban, serta menjadi penghamba cinta.

Saya memahami bahwa sebuah industri film tidak akan terlepas dari unsur kapital. Mengaduk-aduk perasaan penonton hingga bercucuran air mata adalah bagian dari komodifikasi. Menurut Marx dan George Lucas komodifikasi adalah metode khas dalam perdagangan di bawah kapitalisme yang bertujuan mentransformasi sesuatu untuk menghasilkan nilai lebih atau profit sebesar-besarnya guna mengakumulasi kapital.

Persetan dengan persoalan keadilan gender! Tak ada urusan. Tanpa mereduksi persoalan sosial ke ranah personal yang sangat emosional, bagaimana mungkin film bisa selaris ini. Perjuangan, konflik, serta romantisme semu kisah cinta Fahri, sosok lelaki sempurna dan mengagumkan yang digandrungi perempuan-perempuan hebat, adalah bagian dari komodifikasi film sehingga membuat rakyat Indonesia bercucuran air mata untuk kemudian mendulang keuntungan yang berlipat-lipat.

Orang lain bilang: “Nikahi aku Fahri..”
Saya bilang: “Fahri... setialah pada satu istri ..!”
Rumah Joglo, 29 Desember 2017



POLIGAMI TAK DIKEHENDAKI: Pantulan Kritis atas Film Ayat-ayat Cinta 2 POLIGAMI TAK DIKEHENDAKI: Pantulan Kritis atas Film Ayat-ayat Cinta 2 Reviewed by Cherbon Feminist on December 27, 2017 Rating: 5

4 comments:

  1. Termantaap.
    Tapi, dalam bahasan Aisha sebagai korban konstruk sosial budaya atas standar kesalehan perempuan muslimah, rasa2 nya, kalau itu dibaca oleh *maaf* perempuan2 yg memang tidak tuhan karuniakan anak padanya, kira2 gimana ya, mbak penulis?
    Kalo seandainya, penulis ada d posisi itu, kiat2 agar mereka tidak seperti pada "posisi" Aisha gimana ya?
    Masalahnya, itu real mereka alami, mereka yang faham.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak dikaruniai anak itu bukan hanya problem buat perempuan atau istri, tp juga buat suami. Jadi ya harus dipikirkan bersama oleh mereka berdua, jangan hy ditanggung si istri saja. Karena kemungkinan mandul bisa terjadi pd baik suami maupun istri.

      Delete
  2. Setuju banget sama mama muda satu ini.. 😊😊😊

    ReplyDelete

Powered by Blogger.