PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID

Oleh: KH. Husein Muhammad

(Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangin Cirebon, Pendiri Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2007, penerima Award (penghargaan) dari Pemerintah AS untuk “Heroes To End Modrn-Day Slavery” tahun 2006, namanya tercatat dalam “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center tahun 2010, 2011-2012, Tokoh Feminis Muslim Indonesia)


Cherbon Feminist - Saya menemukan seorang perempuan ulama atau ulama perempuan sekaligus aktifis sosial politik. Namanya Nazirah Zainuddin. Lebih dari sebagai seorang aktivis, bagi saya ia adalah perempuan cendikia dan "Alimah". Ia lahir di Aleppo, Irak (1908-1976) yang kemudian bermukim di Mesir. Tidak sekedar itu, ia adalah salah seorang feminis terkemuka di dunia muslim. Namanya dapat disejajarkan dengan tokoh feminis Muslim Mesir lainnya seperti Malak Hifni Nashif, Aisyah Taimuriyah, Nabawiyah Musa, May Ziyadah dan Huda Sya’rawi, Rifa'ah al-Tahtawi, Mohammad Abduh, Qasim Amin dan Sa’ad Zaghlul, dan Tahir al-Haddad di Tunisia, untuk menyebut beberapa nama saja.


Nazirah, seperti para perempuan aktivis lainnya, bekerja dan berjuang membela kaumnya yang tertindas, terutama perempuan. Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan. Cara pandang merendahkan dan diskriminatif para ahli tafsir ia kritik habis-habisan. "Tuhan tak mungkin bersikap diskriminatif terhadap manusia", katanya. Baginya perempuan punya hak sebagaimana yang dimiliki laki-laki dan berhak menjadi apa saja. Perempuan juga berhak menjadi penafsir teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi. Perempuan berhak menjadi "mujtahid" (mujtahidah).



Nazirah menulis dua buku untuk membicarakan persoalan ini; “Al-Sufur wa al-Hijab” dan “Al Fatat wa al-Syuyukh”.  Secara literal “Al-Sufur” berarti tanpa kerudung, terbuka dan “al-Hijab” berarti pembatas atau tirai, meski kemudian berkembang menjadi bermakna jilbab atau cadar. Sedangkan Al-Fatat wa al-Syuyukh, berarti perempuan muda dan orang-orang tua.



Dalam buku terakhir ini, Nazirah menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak dalam menafsirkan al-Qur’an dan menulis fiqh. Katanya :


أجل إنه كما كان للمرأة أن تشترك فى الحكم الشرعي، أن لها الحق الصريح أن تشترك فى الاجتهاد الشرعي تفسيرا وتأويلا. بل إنها أولى من الرجل بتفسير الايات القائم فيها واجبها وحقها لأن صاحب الحق والواجب أهدى اليهما من غيره سبيلا.


“Tentu, jika perempuan punya hak untuk terlibat dalam hukum-hukum agama, dia juga berhak dalam berijtihad baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (pemahaman esoterik). Bahkan perempuan lebih patut dan relevan untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan hak dan kewajibannya, karena dia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain”. (hlm. 179).



Buku Al Sufur wa al Hijab tulisan Nazhirah Zainuddin, adalah salah satu di antara buku yang perlu dibaca. Meskipun ia telah menjadi klasik, tetapi tetap saja relevan dengan situasi kini dan di sini kita. Ia dapat menjadi bekal pengetahuan para aktifis perempuan, terutama yang beragama Islam.



Melalui buku ini dia bekerja secara intelektual melakukan analisis kritis terhadap pandangan-pandangan konvensional tersebut. Nazirah, pada zamannya, perempuan paling menonjol sekaligus kontroversial, yang melakukan kajian tafsir feminis secara ilmiyah dan dengan perspektif dan ruh perempuan muslimah.


Hal menarik dari buku ini adalah bahwa Nazhirah melakukan debat dan polemik dengan sejumlah ulama besar Al-Azhar mengenai hal-hal yang dikajinya. Al-Azhar adalah Universitas Islam tertua, didirikan lebih dari satu millenium, dan dipandang sebagai sumber pengetahuan Islam paling otoritatif. Kritik Nazhirah dalam buku ini cukup tajam, mengena, bahkan dapat dipandang sebagai mendekonstruksi pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama pada saat itu dari universitas Islam terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang berani dan membuat  perseteruan dengan kaum ulama melalui argumen-argumen keagamaan yang sama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda.


Catatan: Tulisan tersebut diambil dari status facebooknya Kyai Husein Muhammad atas ijin penulis. :) 


Baca Juga


PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID Reviewed by Cherbon Feminist on March 29, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.