DELIK ZINA DAN PERKOSAAN DALAM RKUHP: Refleksi Kegiatan Lambe #1

Oleh: Siti Jubaidah 

(Mahasiswa semester 4, Prodi Ekonomi Syari'ah, Fakultas Syari'ah, Institut Studi Islam Fahmina)


LAMBE merupakan singkatan dari ngobroL Aktual Mbareng Batur Eling, adalah salah satu sajian kegiatan yang yang disuguhkan kepada para peminat isu perempuan dari berbagai menu agenda Cherbon Feminist. Nge-LAMBE, bagi para feminers (sebutan bagi pecinta CF) tak lain adalah mendiskusikan isu-isu aktual tentang gender dan feminisme.
Cherbon Feminist nge-Lambe pertama kali mengangkat tema ‘Delik Zina & Perkosaan Dalam RKUHP’ yang dilaksanakan pada tanggal 9 februari 2018 pukul 20.00 di Rumah Joglo. Sebelum diskusi dimulai, kami terlebih dahulu melaksanakan ritual marhabanan di malam jum’at mengharap berkah dan ridho Allah Swt serta syafa’at Rasulullah Muhammad Saw. Seusai marhabanan, kami mencicipi ‘jaburan’ dan minum teh hangat yang telah disediakan.
Acara diskusipun dimulai dengan dipandu langsung oleh teh Nurul Bahrul Ulum, penggagas Cherbon Feminist. Teh Nurul memberikan pengantar singkat terkait mengapa kita harus mendiskusikan tentang RKUHP dilanjutkan dengan memperkenalkan kedua narasumber yang akan memberikan pencerahan lebih luas tentang RKUHP khususnya perluasan pasal zina.

Dampak RKUHP Perspektif Perempuan
Narasumber pertama, Mba Sa’adah Nasukha dari Women Crisis Center Mawar Balqis Cirebon. Sehari-hari, beliau beserta teman-teman seperjuangannya dalam jaringan berupaya untuk memberikan bantuan berupa advokasi hukum dan psikolog untuk para korban kekerasan. Bagi aktifis perempuan dan anak yang sering mendampingi kasus kekerasan serta pemerkosaan sepertinya, jelas merasakan kegelisahan yang bergejolak. Pasalnya apabila RKUHP disahkan, menurutnya akan menimbulkan masalah yang lebih banyak terutama bagi para korban.
Mba Sa’adah menceritakan salah satu kasus yang tengah didampinginya. Sebut saja Asih (nama samaran). Ibunya Asih memiliki hutang kepada Badur (nama samaran), kemudian si Badur mengancam kepada Asih untuk melayani hasrat seksualnya sebagai jaminan atas pelunasan hutang. Beberapa kali Asih menolak. Tetapi, di kemudian hari Asih dimintai ibunya untuk mengangsur hutangnya kepada si Badur. Dengan rasa terpaksa, Asih mendatangi rumah Badur yang masih satu blok dengannya untuk menuruti perintah sang ibu. Sesampainya di rumah Badur, Asih mendapat perlakuan kekerasan seksual, yakni perkosaan.
Bagaimanapun Asih melakukan perlawanan, tetapi tidak berhasil, karena kondisi rumah sepi sekaligus dikunci. Setelah kejadian tersebut, Asih tidak berani bercerita kepada ibunya karena malu. Tetapi bagaimanapun rahasia disembunyikan, akhirnya tercium juga. Ketika keluarga Asih mengetahui kejadian tersebut, Asih dipaksa menikah dengan Badur yang tak lain merupakan lelaki yang memerkosanya.
Bisakah kita bayangkan bagaimana ia harus hidup dengan orang yang memerkosa dirinya? Setiap hari, setiap detik, ia harus melihat dan menghadapi orang tersebut. Itulah realitas yang ada dan sering ditemui di masyarakat. Tanpa mengetahui kronoloigs yang sebenarnya, asal si pemerkosa bilang, “itu kan suka sama suka”. Maka pemerkosa akan bebas merdeka menghirup udara kebebasan, di samping korban menderita fisik sekaligus psikis sepanjang hidupnya.
Makna dari perluasan pasal zina adalah apabila ada dua orang laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah berdasarkan ketetapan pemerintah (tercatat di KUA), maka akan dipidana dengan ancaman 5 tahun penjara. Lalu bagaimana dengan nikah siri yang dianggap tidak sah oleh Negara karena tidak ada buku nikahnya? Bagaimana dengan orang-orang penganut kepercayaan yang terbiasa menikah secara adat dan tidak memiliki KTP? Tentu saja akan dipidana dengan pasal zina karena tidak memiliki buku nikah sebagai bukti perkawinan yang sah tercatat oleh Negara.
Selanjutnya, mba Sa’adah menjelaskan dampak-dampak yang akam terjadi apabila pasal zina diparipurnakan oleh DPR. Pertama, adanya kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan. Dari segi hukum, jika seorang perempuan menjadi korban pemerkosaan dan ia tidak bisa membuktikan, maka perempuan tersebut akan dikenai pasal zina. Dari segi medis, ketika korban melaporkan kasus perkosaan, maka ia harus membuktikannya melalui visum. Biaya visum, tentu saja menjadi tanggungan korban, bukan pelaku (yang dituduh). Ada beberapa yang dibiayai oleh pemerintah melalui pihak kepolisian, tetapi tidak keseluruhan. Sudah menjadi korban perkosaan, dihukum sebagai orang yang melakukan zina, menanggung biaya visum sendiri pula. Sudah jatuh, terpleset, tertimpa tangga pula.
Kedua, adanya kriminalisasi terhadap anak-anak korban kekerasan seksual. Lebih jauh lagi adanya pengabaian hak-hak anak. Sebagaimana kita ketahui, sepanjang tahun 2017 sebanyak 80% korban kekerasan seksual adalah anak di bawah umur (usia SD dan SMP). Jika si anak tidak bisa membuktikan bahwa bahwa dia merupakan korban kekerasan seksual, maka haknya jelas akan terabaikan. Untuk membuktikan kebenaranpun akan sulit bagi korban. Jika korban (anak perempuan) ketika divisum terlihat jelas, misal ada luka robekan. Tetapi, membuktikan pelaku akan sulit, karena tidak akan terlihat ada bekas luka apapun apabila tidak ada saksi. Jadi, membuktikan si anak perempuan adalah korban, dan si laki-laki adalah pelaku pemerkosaan, bukanlah hal yang mudah.
Ketiga, adanya kriminalisasi terhadap pasangan yang menikah tanpa memiliki buku nikah, sebagaimana disinggung sebelumnya. Menikah siri, yang sering dilakukan dengan melegitimasi kesakralan berdasarkan agama, tentu tidak sah di mata Negara. Contoh lain seperti warga yang tinggal di daerah pegunungan terpencil, tidak semua tempat ada KUA-nya. Seperti temannya mba Sa’adah yang menikah dadakan. Karena ‘lebe’ tidak ingin bolak balik dengan alasan capek, rencana menikah di tanggal 8 menjadi dipercepat pada tanggal 6 mengingat jarak tempuh yang harus dilalui ‘lebe’ sangat jauh ke lokasi pernikahan. Itu baru di Jawa Barat saja, belum lagi di daerah jawa-jawa lainnya yang lebih terpencil dengan medan yang sangat sulit untuk dijangkau. Bahkan kalau ingin berangkat sekolah saja harus melewati hutan dan sungai. Jika RKUHP disahkan, tentu saja orang-orang yang menikah dengan keadaan sulit tersebut akan terkena pidana pasal zina.
Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat. Sepertihanya di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana masih kuatnya hukum adat dari pada hukum Negara. Misalnya, mereka merasa tidak perlu mencatatkan pernikahan mereka ke Negara. Nah, itu akan terkena pasal zina jika pasal ini disahkan. Pasal ini juga akan memicu adanya tindakan “main hakim sendiri”. Orang akan dengan mudah memberikan tuduhan kepada orang lain, menghasut orang untuk menggerebek sepasang laki-laki dan perempuan karena tidak bisa membuktikan bahwa dia mempunyai buku nikah. Jadi akan sangat menimbulkan gejala sosial yang tidak nyaman di masyarakat apabila pasal tersebut diparipurnakan.
Mba Sa’adah kemudian mengkritisi pasal perkosaan, yang tadinya adalah delik aduan sekarang menjadi delik umum. Kalau dulu yang berhak melaporkan adalah korban, sekarang yang harus melaporkan adalah orang tuanya, adiknya atau anaknya. Persoalannya adalah bagaimana jika pelaku pemerkosaan orang tuanya sendiri? siapa yang melaporkan? karena tidak mungkin dia (orang tua) melaporkan dirinya sendiri.
Sepertihanya laporan yang diterima oleh WCC Mawar Balqis Cirebon. Mba Sa’adah menceritakan bahwa tahun ini di bulan Januari dan Februari sudah ada yang melaporkan kekerasan seksual  yang dilakukan oleh pamannya sendiri. Tahun kemarin yang menjadi pelaku justru ayahnya sendiri, hingga korban (anaknya) melahirkan seorang anak. Bayi yang dilahirkan persis seperti ayahnya, tetapi hal tersebut disangkal oleh kedua belah pihak (pelaku dan korban).
Ayahnya maupun anaknya tidak ingin di proses secara hukum karena beberapa pertimbangan. Diantaranya; (1) Adanya ketimpangan relasi yang sangat kuat, si anak (korban) ketakutan. Jika dia melaporkan ayahnya (pelaku), maka ibunya akan mendapat kekerasan; dan (2) Adanya ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi kepada si ayah (pelaku). Memiliki tiga adik yang harus dinafkahi menjadi pertimbangan selanjutnya dia enggan melaporkan ayahnya. Kalau ayahnya dipenjara, siapa yang memenuhi kebutuhan hidup ibu dan adik-adiknya? Dipaksa polisi pun dia enggan mengaku. Baru kemudian setelah dibujuk oleh psikolog dia mengaku dengan persyaratan agar ayahnya tidak boleh dipenjara.
Itulah masalah-masalah yang akan kita temui tentang pasal zina  jika benar-benar akan diparipurnakan. Dalam hal ini, korban jelas tidak memiliki kuasa untuk melaporkan. Sebelum mengakhiri pembicaraan, mba Sa’adah memberikan informasi terkait perkembangan terbaru pasal perkosaan bahwa hal tersebut masih dalam pembahasan (pending). Kemudian untuk yang pasal perluasan  zina istilah yang sahsekarang sudah dihapus, jadi hanya perkawinan. Maknanya kemungkinan, apabila ada pasangan suami istri menikah baik secara siri, adat, ataupun yang lainnya tidak termasuk pidana.

Delik Zina dan Perkosaan Perspektif Fiqh Jinayah
Narasumber selanjutnya, yaitu KH Marzuki Wahid dari Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Beliau membahas isu tentang KUHP pasal zina dan perkosaan dalam perspektif fiqh jinayah. Menurutnya, RKUHP hari ini cenderung mengadopsi  norma-norma hukum Islam agar masuk ke dalam undang-undang nasional.
Kyai Marzuki melanjutkan, jika RKUHP ini ditetapkan, maka implikasinya sangat besar terhadap kehidupan kita. Revisi KUHP ini  membutuhkan waktu yang lama serta perdebatan yang sangat panjang. Oleh karena itu, kita harus memiliki kepekaan tersendiri pada isu-isu yang bersangkutan dengan kehidupan sosial yang lebih luas dan berpengaruh bagi kehidupan kita ke depan.
Problematika zina dan perkosaan dalam fikih jinayah terkait dengan kedaulatan tubuh dan hak asasi manusia. Di dalam Islam dikenal lima prinsip dasar yang menjadi maqashid asy-syari'ah, yakni tegaknya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Secara sederhana, beliau menyebut, innama at-takalifu kulluha raji'atun ila mashalihil 'ibad fi dunyahum wa ukhrahum. Sesungguhnya hukum-hukum syari'at diundangkan demi kemaslahatan umat manusia  di dunia dan akherat. Di antaranya; (1) Hifdz ad-din, menjaga agama; (2) Hifdz an-nafs, memelihara jiwa; (3) Hifdz al-'aql, memelihara akal; (4) Hifdz an-nasl, memelihara keturunan; dan (5) Hifdz al-maal, memelihara harta. Dalam konteks yang lebih luas, lima hal ini sesungguhnya adalah hak asasi manusia. Salah satunya adalah hak kedaulatan tubuh. Kita memiliki kedaulatan terhadap tubuh kita yang telah diberikan Allah SWT.
Kyai Marzuki bertanya kepada kami selaku jama’ah Lambe, siapakah yang punya hak mengelola tubuh kita, seperti tangan, mata, hidung, mulut serta alat kelamin kita? Bagaimana kita mengelola alat kelamin ini? Lalu, bagaimana kalau ada orang lain yang ikut intervensi terhadap tubuh kita serta ingin menggunakannya?
Menurut beliau, adalah hal yang sangat serius apabila laki-laki dan perempuan berhubungan kelamin, karena akan berdampak pada kehamilan. Perempuan selalu menjadi pihak yang menangung risiko itu dan dirugikan. Ketika memiliki anak, bagaimana status anak tersebut? Di sinilah hukum menjadi penting untuk mengatur relasi seksualitas antarmanusia. Dalam Islam, inilah bagian dari hifdz an-nasl (menjaga keturunan). Islam sangat memperhatikan pemeliharaan keturunan sehingga keturunan yang dihasilkan adalah generasi yang jelas nasabnya, jelas benihnya, dan dalam ikatan apa.
Lalu, bagaimana kalau hal itu dilakukan di luar ikatan yg sudah diatur? Trus, Kyai Marzuki melanjutkan. Kemudian muncullah  istilah perzinahan dan perkosaan. Di dalam fikih klasik sebetulnya tidak pernah dibedakan antara perzinaan dan perkosaan. Yang disebut di dalam kitab fikih dan al-Qur’an hanya kata ‘zina’. Apa itu perkosaan? Apakah sama dengan zina? Tentu berbeda. Perkosaan sering diartikan al-wath'u bil ikrah (persetubuhan dengan paksaan). Ada unsur paksaan di situ, baik dilakukan di luar atau di dalam perkawinan. Ada perkosaan dalam perkawinan, yang biasa disebut marital rape. Ini sudah diatur oleh UU PDRT.
Apabila melihat KUHP yg berlaku saat ini, sebetulnya perzinaan bukan delik pidana, kecuali apabila terdapat aduan. Misalnya, ada orang yg berhubungan badan suka sama suka dan tidak ada yang dirugikan, maka menurut KUHP sekarang tidak termasuk pidana. Ketentuan ini akan diubah.Baik suka sama suka maupun suka tidak suka, maka itu termasuk zina dan masuk delik pidana.
Di dalam fikih, zina didefinisikan secara berbeda-beda. Zina itu seperti apa? Zina seperti apa yang termasuk dihadd (dijilid/dirajam)? Zina yang dimaksud fikih kaitannya dengan wathi’ (hubungan alat kelamin) di luar ikatan perkawinan. Lalu, apakah yang dimaksud dengan bertemunya dua alat kelamin laki-laki dan perempuan? Apakah kalau sekedar bertemu sudah termasuk zina? Nah, disinilah sulitnya merumuskan definisi yang berimplikasi pada hukum, harus jami’ dan mani’. Di dalam KUHP tidak secara detail menjelaskan hal ini. Tentu berbeda dengan fikih yang sangat detail menjelaskannya.
Zina menurut madzhab Syafi’iy adalah wath’u ar-rajuli al-mar’ata fil qubuli fi ghairil milki (penetrasi laki-laki pada vagina perempuan yang bukan miliknya). Definisi ini bias gender (laki-laki subjek, perempuan objek). Bagaimana jika dibalik, yaknipenetrasi perempuan pada laki-laki? Termasuk zina atau tidak? Bagaimana pula jika penetrasinya bukan pada vagina (qubul), tapi pada tempat yang lain, misalnya dubur (anus) atau mulut? Termasuk zina atau tidak? Bagaimana pula jika penetrasi laki-laki atas laki-laki, atau perempuan atas perempuan? Termasuk zina atau tidak?
Sementara ada definisi lain yang lebih konkrit lagi, yaitu masuknya seukuran hasyafah (kepala penis laki-laki) ke dalam farji (vagina) yang diharamkan (belum ada ikatan pernikahan) yang dilakukan karena nafsu syahwat dan tidak ada syubhat di dalamnya. (Hasyafah dengan dzakar itu berbeda. Hasyafah adalah kepala penis paling ujung, sedangkan dzakar batang penis secara keseluruhan).Timbul pertanyaan, bagaimana kalau masuknya tidak karena nafsu tapi tiba-tiba masuk sendiri tanpa sengaja, apakah itu termasuk zina?
Apa yang dimaksud dengan syubhat? Kyai Marzuki memberikan sebuah contoh, misalkan disebuah rumah ada beberapa keluarga, lalu mati lampu, gelap. Tanpa disengaja dan tidak tahu ternyata suami mensetubuhi perempuan bukan istrinya, nah ini yang disebut dengan syubhat. Jadi, tidak ada niatan dan tidak sengaja melakukan persetubuhan kepada selain istrinya, karena tidak diketahui.
Yang paling detil mendefinisikan zina adalah madzhab Hanafi. Ini penting, karena nanti berkaitan dengan jarimah bagi pelaku zina, apakah di-hadd atau tidak?. Menurut madzhab Hanafi, zina adalah persetubuhan yang haram ke dalam vagina perempuan yang masih hidup, yang dilakukan karena nafsu dalam keadaan sadar di dalam negara Islam. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau bersetubuh dengan perempuan yang sudah mati? Menurut definisi ini tidak termasuk zina. Bagimana jika mensetubuhi hewan? Apakah termasuk zina atau tidak? Di-hadd atau tidak? Definisi zina di dalam kitab fikih sangat beragam dari berbagai madzhab dan ternyata sangat rumit. Sementara KUHP tidak menjelaskan hal itu secara detail. 
Berdasarkan pengalaman Rasulullah SAW, selama masa kenabiannya hanya ada lima orang yang pernah dicambuk (di-hadd). Itupun bukan karena ditemukan berzina dan ada 4 orang saksi, tetapi karena pelaku mengaku kepada Rasulullah. Mereka datang kepada Rasul dan mengaku telah berzina. Rasulullah tidak begitu saja mempercayainya. Rasul menyuruhnya untuk pulang, menunggu apakah hamil atau tidak? Setelah hamil, mereka datang lagi. Rasulullah menyuruhnya pulang lagi dan menunggu hingga melahirkan. Setelah melahirkan, perempuan itu datang lagi. Lalu, Rasul kembali menyuruhnya pulang, agar menyusui anaknya hingga dua tahun. Setelah anaknya besar, barulah perempuan tersebut datang kembali ke Rasul, dan Rasul meng-hadd, karena dia sungguh-sungguh ingin bertaubat. Jadi, betapa sulitnya membuktikan seseorang berzina atau tidak, karena tidak ada orang yang ingin mengaku bahwa dirinya telah berzina.
Menurut Islam, orang dapat disebut zina apabila ada empat (4) orang saksi yang melihat secara langsung perbuatan zinanya. Lalu, adakah perilaku zina yang disaksikan secara langsung bahkan oleh empat orang?
Pertanyaannya kemudian, zina itu persoalan moral atau hukum? Moral publik atau moral individu? Bahwa zina itu haram, dilarang, fahisyah, itu jelas semua ulama sepakat, tetapi bagaimana untuk membuktikannya? Bagaimana membuktikan bahwa seorang perempuan itu diperkosa? Jika ini  persolan moral, maka tidak perlu diatur dalam KUHP, karena akan ada implikasi-implikasi yang sulit dibuktikan. Kalau persoalan hukum, bagaimana membuktikan secara positif itu zina atau tidak, membuktikan perkosaan, kecuali pengakuan.
Bagaimana membuktikan kalau perempuan diperkosa? Visum. Apakah visum menunjukkan ada unsur paksaan? Bagaimana membuktikan  ada unsur paksaan dalam perkosaan? Dalam kasus ini yang akan selalu menjadi korban adalah perempuan. Kemudian hukum ini gagal, karena tidak adil bagi perempuan. Inilah problem yang harus ditemukan dan didiskusikan karena hukum ini tidak bisa dijangkau oleh perempuan, kecuali pembuat hukum ini berperspektif gender. Artinya, pengakuan perempuan seharusnya bisa dijadikan sebagai bukti yang kuat atas perkosaan. Lalu, bagaimana jika perempuan itu berbohong? Hukum bukan segala-galanya. Akan tetapi jika hukum sudah ditetapkan, kita semua akan terikat dengan hukum tersebut. Itulah pendapat beliau dalam mengakhiri pembahasannya.
Seusai kedua narasumber menyampaikan materi, moderator memberikan kesempatan kepada partisipan yang hadir untuk bertanya, menanggapi, sekaligus mengkritisi. Ada ragam pertanyaan yang dilontarkan, mulai dari persoalan hukum onani dalam Islam, kronologis adanya RKUHP yang menimbulkan gejolak masalah, status anak hasil perzinahan, hingga sikap ulama kontemporer dan umat Islam dalam menyikapi RKUHP.
Meskipun waktu sudah menunjukan pukul 22.30, suasana diskusi semakin hangat ketika kedua narasumber merespon pertanyaan para partisipan diskusi. Sebelum forum diakhiri, moderator meminta mba Lutfiyah Handayani (WCC) untuk mengajak para partisipan yang tak lain adalah mahasiswa menyatakan sikap bersama MENOLAK RKUHP YANG MENGKRIMINALISASI PEREMPUAN, ANAK, MASYARAKAT ADAT, DAN KAUM MARJINAL sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah sosial. Forum diskusi ditutup dengan pemberian cinderamata sederhana oleh Mimi (Fitri Fatimatuzzahra) & Mama (Ilham Maulana) Lambe dan menikmati tekwan bakso yang dimasak oleh para feminers.

Rumah Joglo, 9 Februari 2018



DELIK ZINA DAN PERKOSAAN DALAM RKUHP: Refleksi Kegiatan Lambe #1 DELIK ZINA DAN PERKOSAAN DALAM RKUHP: Refleksi Kegiatan Lambe #1 Reviewed by Cherbon Feminist on February 12, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.