Sebagai
warga negara Indonesia yang kental dengan budaya patriarkal, tentu tak asing
bagi kita ketika menemukan beberapa persoalan yang berkaitan dengan peran
sosial. Kita ambil contoh ketika lingkungan membutuhkan sosok pemimpin,
masyarakat cenderung lebih mengutamakan laki-laki dengan alasan klasik laki-laki lebih pintar, langkahnya lebih luas, cenderung logis dan tidak
emosional. Secara tidak sadar, kita telah mengeneralisir bahwa perempuan tidak
lebih pintar dari laki-laki, cenderung emosial dan tidak logis sehingga tidak
pantas dijadikan pemimpin. Cara pandang itu telah mensubordinasi posisi
perempuan dan telah terkonstruk sedemikian rupa selama kurun waktu yang cukup panjang.
Dalam
memahami persoalan ketidakadilan gender tidak bisa membedahnya secara parsial
atau hanya dari satu sektor saja karena yang melanggengkan ketimpangan itu
tidak hanya satu faktor. Ada mata rantai yang menghambat proses kesetaraan
seperti budaya patriarki, kebijakan publik, pendidikan, kapitalisme serta
penafsiran teks agama. Pada persoalan kepemimpinan perempuan, ada satu faktor
yang sangat dapat mempengaruhi cara berfikir masyarakat, yaitu agama. Agama
telah menjadi ideologi yang paling kuat mempengaruhi masyarakat karena agama
mempunyai sumber atau landasan sakral, yaitu kitab suci yang dianggap dapat
menjadi petunjuk hidup (hudan li al-nas).
Islam sendiri mempunyai Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum maupun sumber
pedoman kehidupan.
Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah untuk menyadarkan manusia mengenai keesaan-Nya dan
menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan demi mewujudkan budi pekerti luhur (akhlaqul karimah) serta kerahmatan bagi
semesta (rahmatan lil alamin). Kedua
pernyataan ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang dapat memberikan
akses secara terbuka bagi manusia yang menginginkan terwujudnya kehidupan
berkeadilan, merahmati dan menyejahterakan masyarakat. Al-Qur’an menjadi sumber
pedoman hidup, dan untuk memahaminya perlu dilakukan penafsiran-penafsiran pada
setiap ayatnya. Tentu penafsiran teks tersebut tidak sembarang dilakukan oleh
orang-orang biasa, hanya orang berilmu dan yang faham mengenai tata cara
penafsiran teks, yaitu mufasir.
Selama
ini, sering kita mendengar bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan dasar hukum
bahwa 'perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin'. Mari kita lihat kutipan
surat An-Nisa:34 yang menyatakan: “Laki-laki adalah qawwam atas perempuan, dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari
harta mereka”. sebelum kita tafsirkan ayat ini, perlu kita ketahui bersama
mengenai asbabun nuzul-nya yaitu pada
suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah SAW untuk mengadukan
suatu masalah, yaitu ia ditampar mukanya oleh sang suami. Kemudian Rasulullah
SAW bersabda “Suamimu itu harus diqishas (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda
Rasulullah saw itulah maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut.
Dalam
An-Nisa:34, para mufasir mengartikan qawwam sebagai pemimpin, pelindung,
penanggung jawab, pendidik dan pengatur. Mereka juga menjelaskan bahwa
kelebihan laki-laki atas perempuan adalah kelebihan akal, fikiran, serta
fisiknya. Mari kita refleksikan dengan kehidupan saat ini. Pandangan melebihkan
laki-laki dalam segi keunggulan akal dan fisik dapat dengan mudah terbantah
oleh fakta-fakta dan realitas sosial yang terjadi. Perempuan banyak yang
memiliki kelebihan intelektual maupun fisik.
Realitas
dengan sendirinya telah membuktikan bahwa perempuan dapat melakukan tugas-tugas
yang selama ini dikira hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Kita dengan
sendirinya dapat menyaksikan perempuan-perempuan menjadi pemimpin negara,
kepala pemerintahan, ketua partai politik, dan sebagainya. Realitas ini telah
membuktikan bahwa pandangan/ penafsiran yang dianggap kodrati (given) tidaklah benar. Hal itu hanyalah
konstruksi sosial yang sengaja diciptakan.
K.H.
Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan menjelaskan bahwa kenyataan ini
memperlihatkan adanya sebuah proses kebudayaan yang kian maju. Kehidupan tidak
lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnasi. Ada dialektika sosial yang bergerak
secara terus menerus, dari kehidupan nomaden menuju kehidupan berkeadaban, dari
keangka berpikir tradisionalis ke berpikir rasionalis, dari pandangan
tekstualis ke pandangan substansualis, dari ketertutupan ke keterbukaan, dst.
Menyikapi
surat An-Nisa:34, kita harus dapat membaca kondisi sosio-historis pada saat
ayat tersebut diturunkan. Pada masa itu, budaya dan bangunan masyarakat
cenderung dikuasai oleh laki-laki (patriarkal) dan dalam masa transisi dari jahiliyyah menuju kehidupan tercerahkan.
Dalam kehidupan bermasyarakat masa itu, perempuan tidak diberi kesempatan untuk
berkiprah di ranah publik dan hal tersebut sudah tepat dan maslahat karena masyarakat pada masa itu
masih terbelakang dalam hal kesetaraan (musawwah).
Anggaplah hal ini sebagai suatu kemajuan dari perlakuan terhadap perempuan
pada zaman jahiliyyah yang
memposisikan perempuan sebagai budak, dieksploitasi atau dianggap sebagai
barang yang dapat diperjualbelikan. Islam sebagai agama yang menyempurnakan
ajaran-ajaran sebelumnya hadir untuk membebaskan manusia (laki-laki maupun
perempuan) dari penindasan dengan prinsip al-huriyyah
(kebebasan), al musawwamah (kesetaraan),
al-adalah (keadilan), dan karamah al-insan (penghormatan kepada
manusia).
Sering
kita mendengar bahwa setiap persoalan (yang terkandung) dalam ajaran Islam itu
selaras dengan setiap zaman dan setiap waktu. Salah apabila kita selalu ingin
memposisikan perempuan dalam setting budaya dahulu kedalam kondisi sosial
sekarang. Artinya, perempuan mempunyai hak untuk memimpin selama ia memiliki
kemampuan intelektual maupun managerial yang lebih baik dari laki-laki. Jadi,
sekali lagi tidak akan menjadi permasalahan apabila perempuan menjadi pemimpin
selama hal itu maslahat untuk sesama. Dan sebaliknya, apabila laki-laki yang
tidak memiliki kemampuan lalu tetap dituntut untuk menjadi pemimpin, maka hal
itu tidak layak karena akan menjauhi kemaslahatan bersama.
Siapa Bilang Perempuan Gak Bisa Jadi Pemimpin? Begini Kata Al-Qur'an
Reviewed by Cherbon Feminist
on
May 28, 2017
Rating:
Mantap
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete