Oleh: Fitri Nur’azizah
(Mahasiswa
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Aktivis Cherbon Feminist, Pegiat
PELITA Perdamaian)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan
Internasional sejak tahun 1978 dan PBB pun menganjurkan bagi semua Negara
untuk ikut memperingatinya sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak perempuan.
Jika
melihat sejarah disebutkan Hari Perempuan Internasional ini pertama kali
diperingati oleh Negara Amerika Serikat tepatnya di New York pada tanggal 28
Februari 1909. Namun
nyatanya PBB baru
menetapkan 69 tahun
pengakuan
hak-hak
perempuan, yang kemudian
secara
serentak
Negara-negara di dunia pun turut
serta
merayakannya.
Pada tahun ini mulai
dari tanggal 3 Maret, Hari Perempuan Internasional sudah mulai diperingati di
berbagai Negara salah satunya Indonesia. Event yang dikenal dengan Women March ini mengusung delapan
tuntutan kepada pemerintah yaitu pertama,
mengusung hukum dan kebijakan yang diskriminatif dan melanggengkan
kekerasan berbasis gender. Kedua, mengesahkan hukum dan kebijakan yang melindungi
perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok difabel, kelompok minoritas gender
dan seksual dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Ketiga, menyediakan akses keadilan dan
pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender.
Keempat,
menghentikan
intervensi Negara dan masyarakat terhadap tubuh dan seksualitas warga negera. Kelima, menghapus
stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas, dan status kesehatan. Keenam, menghapus praktik dan budaya
kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, kesehatan, lingkungan hidup,
pendidikan, dan pekerjaan. Ketujuh, menyelesaikan akar kekerasan yaitu pemiskinan
perempuan, khususnya perempuan buruh industri, konflik SDA, transpuan, pekerja
migran, pekerja seks, dan pekerja domestik
dan yang terakhir mengajak masyarakat untuk berfartisipasi aktif
menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum,
lingkungan hidup, pendidikan dan pekerjaan.
Dalam rangka mereflekasikan
Hari Perempuan Internasional setiap Negara mempunyai kegiatan yang berbeda-beda,
ada yang melakukan pawai, aksi, mengadakan pameran seperti yang dilakukan oleh
perempuan Australia yang mengadakan pameran di Museum Sejarah Jakarta dengan mengambil tema
Fait Fashion Fusion. Dalam pameran
itu ditampilkan sejumlah mode, termasuk baju renang atau burqini dan
penampilan kisah-kisah pribadi perempuan Australia.
Begitupun di Cirebon berbagai lembaga atau komunitas yang fokus terhadap isu perempuan, ikut
serta merefleksikan Hari Perempuan Internasional 2018. Women Crisis Center
(WCC) Balqis Cirebon merefleksikannya dengan turun ke berbagai pelosok desa
untuk melakukan penyadaran terkait menjaga kedaulatan tubuh melalui pendidikan
publik. Gabungan aktivis perempuan ekstra kampus seperti Kopri, Kohati, Sarinah
dan lain sebagainya melakukan aksi turun ke jalan sekaligus audiensi kepada
pemerintah DPRD Kota Cirebon terkait pemenuhan hak-hak perempuan.
Komunitas Cherbon
Feminist yang baru berdiri 3 bulan terakhir tak ketinggalan. Tanggal 8 maret
2018 bersama kurang lebih 69 organisasi melalukan long march sekaligus audiensi mulai dari DPR RI, ILO, Kementerian Perlindungan
Perempuan dan Anak, hingga Istana Negara yang tergabung dalam aksi Parade Juang
Perempuan Indonesia. Dalam aksi tersebut perempuan bergerak melawan berbagai
bentuk diskriminasi, intoleransi, dan pemiskinan terhadap perempuan. Aksi
berlanjut pada tanggal 17 maret 2018 dengan bentuk yang berbeda. Cherbon
Feminist berkolaborasi dengan para pegiat seni dan organ perempuan lainnya
untuk merefleksikan Hari Perempuan Sedunia melalui pertunjukan seni ekspresi
dalam menyuarakan hak-hak perempuan. Kegiatan tersebut berlangsung tepat pada
malam minggu di halaman Balai Kota Cirebon dengan mengusung tema “Ekspresi
Perempuan Untuk Perubahan”.
Tujuan dari setiap kegiatan
tersebut
bukan
sebatas
seremonial
belaka, akan
tetapi para feminis terus bertekad ingin memperjuangkan
kehidupan yang berkeadilan, kesetaraan dan membangun kesadaran bersama bahwa
laki-laki dan perempuan itu
mempunyai
hak yang sama sebagai manusia. Sebab, walaupun saat ini perempuan sudah
mempunyai ruang untuk mencapai cita-citanya sebagaimana laki-laki, akan tetapi
bentuk diskriminasi, kekerasan dalamrumah
tangga (KDRT),
pelecehan seksual, dan yang lainnya masih banyak terjadi.
Seperti yang dilansir
Women
Crisis Centre (WCC) Mawar Balqis pada 2017, dalam catatannnya disebutkan bahwa ada
140 kasus kekerasan, terdiri dari 85 kekerasan seksual, 50 kasus KDRT, 5 kasus
trafficking (perdagangan) dan
penelantaran terhadap
perempuan.
Dari semua kasus tersebut hampir 90
persen dilakukan oleh orang terdekat dengan modus pengancaman dan pemaksaan. (news.okezone.com,
sepanjang
2017 terjadi 140 kasus kekerasan perempuan, tertinggi dialami pelajar).
Meski angka
ini relatif rendah jika
dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi angka tersebut bias saja meningkat, apabila tak ada peningkatan kesadaran terhadap masyarakat soal antisipasi apabila terjadi kekeresaan yang menimpa
perempuan.
Kekerasan memang bukan
hanya terjadi pada perempuan saja, akan tetapi pada manusia lain pun ada. Namun jika
melihat data di atas, jelas bahwa kekerasan, penganiayaan dan pelecehan banyak
terjadi terhadap perempuan. Menurut
Kyai Husein Muhammad atau
yang akrab disapa Buya Husein bahwa
tindakan semacam itu muncul karena adanya kekuasaan yang tidak bermoral. Misalnya
kontruksi sosial yang membentuk laki-laki berkuasa atas perempuan. Dengan
begitu perlu adanya perubahan-perubahan pada sistem kebudayaan yang selama ini
berkembang untuk pada gilirannya dapat diwujudkan suatu kontruksi sosial baru
yang sejalan dengan hak asasi manusia. (Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; hlm.
225)
Selain itu juga perlu
adanya penyadaran terhadap perempuan itu sendiri bahwa dirinya berhak
mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Misalnya, salah satu dari 8 tuntutan Women March kepada pemerintah di atas
adalah menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban kekerasan
berbasis gender. Selama ini sebagian perempuan merasa pasrah dan tidak berdaya
terhadap berbagai kekerasan yeng terjadi pada dirinya, mulai dari kekerasan fisik, psikis juga
verbal/mental. Hal ini disebabkan oleh kontruksi sosial yang menganggap bahwa
perempuan itu makhluk lemah, penyebar fitnah dan penggoda atau pelakor yang sekarang
lagi
nge-trend, sehingga ketika perempuan
mendapatkan serangan berbagai kekerasan dengan alasan apapun masyarakat akan
tetap menyudutkannya.
Pemerintah Segera Sahkan
RUU Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan
Dengan begitu
pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan hukum perlindungan terhadap
perempuan, salah satunya dengan cara segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual, RUU
pekerja rumah
tangga dan juga segera menghapus hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.
Ketua komnas perempuan
Azriana Manalu mengungkapkan, sepajang 2017 kekerasan seksual meningkat,
terutama diranah privat yang pelakunya adalah orang terdekat korban, di ranah
publik, pemerkosaan terus terjadi dan kian serius, ditambah lagi dengan kebijakan dan
perundang-undangan, ada yang mengancam kekerasan perempuan lewat kriminalisasi
atas tubuh perempuan. hal ini sangat jauh dengan pernyataan Presiden Jokowi
Dodo bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan luar biasa. Maka, momentum Women March ini menjadi waktu yang pas
untuk menuntut pemerintah agar segera mensahkan RUU penghapusan kekerasan
seksual. (koran kompas, minggu, 4 Maret 2018, Bangkit Melawan Kekerasan).
Dengan begitu diharapkan ekpresi dan
keberadaan perempuan itu
bisa
lebih diakui. Selain itu, masyakat juga mesti ikut berpartisipasi dalam memberi
semangat terhadap korban kekerasan, melindungi dan menghapus tindakan kekerasan
dalam lingkungan hidup, kesehatan, pekerjaan juga pendidikan.
Sejalan dengan itu,
kekerasan, penganiayaan dan pendiskriminasian terhadap perempuan ataupun
laki-laki, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun sehingga perlindungan dan
keamanan baik dari pemerintah, pendidikan
juga dari lingkungan hidup, seharusnya berlaku kepada semua manusia
tanpa memandang dari sisi perbedaan gender, agama, ras suku dan sebagainya.
Berbicara persoalan
perempuan memang tidak akan pernah habis sepanjang kehidupan ini masih
berlangsung. Maka dari itu masih perlu perjuangan panjang untuk mencapai
kehidupan yang adil, setara dan saling cinta kasih sesama manusia. Sebelum menutup
tulisan ini saya mengucapkan selamat Hari Perempuan Internasional yang ke 107, semoga
semua perempuan di dunia bisa menjadi perempuan yang mandiri, bisa berekspresi
dengan bebas dan dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya.
WOMEN MARCH DAN PERJUANGAN HAK-HAK PEREMPUAN
Reviewed by Cherbon Feminist
on
March 21, 2018
Rating:
No comments: